SB, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin diwakili oleh Wakil Jaksa Agung Feri Wibisono menyampaikan Keynote Speech Jaksa Agung pada acara Focus Group Discussion “Konstruksi Pemidanaan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara” yang diselenggarakan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung.
Jaksa Agung mengatakan, tema kegiatan ini merupakan topik yang sesuai dengan semangat Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang belakangan ini tidak hanya fokus pada merugikan keuangan negara, tetapi juga yang merugikan perekonomian negara. Perekonomian negara di sini artinya lebih luas daripada keuangan negara, berarti keuangan negara juga termasuk ke dalam ruang lingkup perekonomian negara.
Adapun jenis-jenis tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian perekonomian antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana penipuan keuangan, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perbankan, tindak pidana penyelundupan dan perdagangan narkotika, tindak pidana perdagangan ilegal, tindak pidana penggelapan pajak, dan lain sebagainya.
“Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana yang merugikan perekonomian negara pada dasarnya dapat mengakibatkan efek merusak yang sangat luas, tidak hanya keuangan negara namun lebih dari itu contohnya hilangnya dana publik, penurunan kepercayaan investor, penurunan pendapatan fiskal, dan ketidakstabilan ekonomi yang berimbas pada keadaan perekonomian Indonesia,” imbuh Jaksa Agung.
Kemudian, Jaksa Agung menuturkan bahwa kejaksaan telah beberapa kali menangani kasus korupsi yang merugikan perekonomian negara, seperti dalam perkara importasi tekstil, importasi baja, dan perkara korupsi Crude Palm Oil (CPO), yang dalam penanganan perkaranya diperlukan penghitungan kerugian perekonomian negara guna pemenuhan atau pembuktian unsur yang merugikan perekonomian negara.
“Saat ini, fokus utama Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana yang merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara adalah bagaimana cara untuk menyelamatkan dan memulihkan kerugian yang telah terjadi tersebut,” ujarnya.
Selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jaksa Agung mengungkap bahwa Indonesia juga telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC), melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC).
Dalam aturan tersebut, Indonesia menyetujui adanya peningkatan hubungan kerja sama pada sektor internasional dalam hal pelacakan, penyitaan, pembekuan, dan pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang disimpan oleh pelaku tindak pidana korupsi ke luar negeri.
“Oleh karena itu, Kejaksaan patut bersyukur atas lahirnya Badan Pemulihan Aset sebagai bagian dari Kejaksaan, karena dapat membantu Kejaksaan dalam merestorasi dampak merusak akibat kerugian keuangan negara dan/atau perekonomian negara akibat dari tindak pidana,” ujar Jaksa Agung menambahkan.
Selanjutnya, Jaksa Agung mengatakan paradigma Kejaksaan dalam penanganan perkara korupsi saat ini telah mengalami transformasi, yang semula menggunakan paradigma follow the suspect atau hanya mengejar pelakunya saja, menjadi paradigma follow the money and follow the asset atau lebih kepada mengejar uang dan asetnya demi mengoptimalkan pemulihan dan pengembalian aset dan kerugian negara.
Berbagai upaya dilakukan untuk optimalisasi pemulihan terhadap kerugian perekonomian negara, salah satunya yaitu pemberlakuan “asas pencemar membayar” yang diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam aturan ini, dijelaskan bahwa “asas ‘pencemar membayar’ adalah setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan”.
“Sebenarnya terdapat dua instrumen yang dapat dipergunakan untuk memulihkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti. Namun, kedua instrumen tersebut belum mampu mengembalikan kerugian keuangan negara dengan maksimal,” terangnya.
Menurut Jaksa Agung, setidaknya terdapat tiga hal yang menyebabkan tidak optimalnya pemulihan kerugian negara, yaitu:
Menyongsong pemberlakuan KUHP Nasional yang secara efektif berlaku pada 2 Januari 2026, Jaksa Agung berpesan untuk bersiap dengan berbagai ketentuan baru yang diatur dalam beleid tersebut. Salah satu yang menjadi sorotan yaitu adanya instrumen pemulihan kerugian perekonomian negara melalui pembayaran ganti kerugian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d KUHP Nasional.
“Konsepsi pembayaran ganti kerugian dalam ketentuan ini sebenarnya sama dengan restitusi tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang membedakan hanya adressat-nya, dimana Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban fokus pada saksi dan korban, sedangkan dalam KUHP Nasional lebih luas, termasuk ganti kerugian terhadap negara,” imbuh Jaksa Agung.
Konsep ganti rugi untuk kerugian perekonomian negara juga dapat ditempuh melalui mekanisme gugatan perdata. Namun bagi Jaksa Agung, hal tersebut memberi kesan bahwa sistem peradilan pidana yang ada saat ini tidak mampu mewujudkan salah satu tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf c KUHP Nasional yakni memulihkan keseimbangan.
“Terobosan atas pemidanaan yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara merupakan perwujudan dan komitmen negara dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan negara. Salah satu bentuk perwujudan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat adalah dengan mengonstruksikan pemidanaan yang tepat bagi pelaku korupsi yang telah merugikan perekonomian negara,” tutur Jaksa Agung.
Terlebih, dengan wewenang Central Authority dalam pemulihan aset oleh Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia secara integral bertujuan untuk memulihkan perekonomian negara akan memberikan legitimasi atas pemulihan perekonomian negara yang pasti.
Dengan demikian, Jaksa Agung berpesan agar para penegak hukum harus berani untuk menggeser paradigma dan melakukan gebrakan bahwa pelaku kejahatan yang terbukti merugikan perekonomian negara sudah sepatutnya dibebankan kewajiban untuk memulihkan perekonomian negara, dengan dilakukannya perampasan aset atas kerugian yang telah disebabkannya.
“Saya sampaikan bahwa pembebanan kepada pelaku tindak pidana berupa perampasan aset sebagai langkah progresif atas pengembalian kerugian perekonomian negara bukan hanya menjadi suatu angan-angan belaka, namun harus menjadi suatu keniscayaan,” pungkasnya. (*)