SB, NANGA BULIK - Desa Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah (Kalteng) setidaknya sudah berkonflik 10 tahun lamanya dengan beberapa perkebunan sawit di sekitar desa mereka. Mereka telah melalui banyak hal, mulai dari pertikaian hingga penjara. Dengan kedatangan Menteri LHK Siti Nurbaya ke Kinipan, banyak harapan dan desakan yang lahir dari desa pelosok Kalteng tersebut.
Siti Nurbaya datang bersama Yayasan Bezos Earth Fund (BEF), sebuah yayasan milik salah satu orang terkaya di dunia Jeff Bezos ke Kinipan pada Sabtu (7/9/2024) lalu. Belum jelas apa yang ingin ditawarkan mereka ke Kinipan, namun mereka berjanji membantu menjaga dan menyelesaikan persoalan hutan adat Kinipan.
Berikut delapan tuntutan masyarakat adat Kinipan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga pemerintah Kabupaten Lamandau. Delapan tuntutan ini diserahkan langsung masyarakat adat Kinipan ke Siti Nurbaya, berikut isinya:
1. Kinipan sudah bertahun-tahun memperjuangkan pengakuan wilayah adat. Kami sudah melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Tetapi, hingga saat ini kami belum mendapatkan pengakuan itu dari pemerintah daerah.
2. Dalam memperjuangkan hutan adat, kami juga sudah mengusulkan untuk mendapatkan SK Hutan Adat seluas 10 ribu hektar ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Sejauh ini, yang sudah kami terima SK Pencadangan seluas 6.800 hektar. Namun, hingga saat ini, SK Pencadangan itu pun belum diverifikasi di lapangan. Sekadar informasi, dalam peta SK itu terdapat juga kebun dan ladang masyarakat.
3. Saat ini terdapat lahan konsesi yang masuk dalam wilayah dan hutan adat seluas 5 ribu hektar. Seluas 1.700 hektar di antaranya sudah digarap perusahaan. Kami memohon kepada KLHK untuk meninjau ulang izin tersebut untuk dicabut demi mencegah konflik secara permanen. Pencabutan izin itu penting karena wilayah tersebut merupakan bagian dari ruang hidup Masyarakat Adat Kinipan dan potensial untuk dijadikan hutan adat.
4. Menyikapi tiga poin masalah di atas, kami meminta agar Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau dan KLHK agar segera memberi pengakuan subjek hukum Masyarakat Adat Kinipan, kemudian memberikan pengakuan wilayah adatnya, dan mengesahkan hutan adatnya.
5. Satu kendala terpenting yang kami rasakan untuk pengakuan wilayah adat Kinipan, adalah tata batas Kinipan dengan Karangtaba yang diputuskan secara sepihak oleh Bupati Lamandau, Hendra Lesmana. Keputusan sepihak itu, bukan hanya terkait dengan Karangtaba, tapi juga merusak kesepakatan tata batas dengan desa lain, yaitu Desa Suja dan Kelurahan Tapinbini. Kami meminta pemerintah daerah menyelesaikan konflik tata batas dengan memfasilitasi para pihak desa terkait untuk duduk bersama menyelesaikan konflik ini. Selama ini kami sudah berupaya meminta duduk bersama tapi belum terealisasi.
6. Kami meminta kepada KLHK, yang punya maksud baik untuk mempercepat penguatan masyarakat adat, agar benar-benar melibatkan secara aktif masyarakat Kinipan, terkait kesejarahan, tata batas dan lain-lain. Kami meminta agar pengakuan dan penetapan masyarakat adat beserta wilayah tenurialnya ditetapkan segera melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Lamandau yang setelahnya ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan Kabupaten Lamandau.
7. Jika pengakuan dan penetapan hutan adat sudah terlaksana, kami ingin segala perencanaan yang bersinggungan dengan hutan adat kami itu dimulai dan dilaksanakan melalui persetujuan kami. Program apapun yang datang baik dari luar maupun dalam negeri harus menyesuaikan dengan keinginan kami. Kami tidak ingin menjadi karyawan di tanah kami sendiri, melainkan tuan di warisan leluhur kami tersebut.
8. Kami meminta komitmen pemerintah untuk membantu dan bersama-sama masyarakat adat Kinipan mengembangkan pengelolaan wilayah adat, meliputi bidang sosial, budaya, ekonomi, dan keamanannya.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki mengungkapkan, masyarakat Kinipan berharap jika persoalan hutan adat Kinipan yang sudah berlarut-larut ini bisa selesai.
“Semoga ada tindak lanjutnya pertemuan ini,” ujar Willem Hengki, Senin (9/9/2024).
Hengki menambahkan, persoalan utama untuk hutan adat yang terakatung-katung terjadi lantaran suara masyarakat belum didengar betul oleh banyak pihak, terutama pemerintah.
Ia berharap persoalan hutan adat yang kini mentok di tata batas dengan salah satu desa tetangga bisa menemui jalan keluar. (sb)