SB, PALANGKA RAYA – Peristiwa kaburnya seorang narapidana kasus asusila dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Palangka Raya tak hanya mencoreng sistem pengamanan, tetapi juga menggambarkan retaknya kepercayaan publik terhadap lembaga pemasyarakatan sebagai garda terakhir pembinaan warga binaan.
Praktisi hukum sekaligus putra daerah Kalimantan Tengah, Dr Ari Yunus Hendrawan, menyebut kejadian ini sebagai bentuk kelalaian serius. Ia menyatakan, langkah tegas menonaktifkan Kalapas dan Kepala Pengamanan Lapas (KPLP) adalah keputusan yang tepat, sah, dan mendesak.
“Keputusan Kanwil Ditjenpas Kalteng menonaktifkan Kalapas dan KPLP sudah benar. Ini bentuk ketegasan sekaligus upaya menjaga citra Lapas Palangka Raya. Pejabat yang dinonaktifkan harus dibina kembali, dan jangan buru-buru dikembalikan sebelum ada evaluasi menyeluruh,” ujarnya.
Diketahui, narapidana yang kabur telah berhasil ditangkap kembali oleh Polrestabes Banjarmasin. Namun menurut Dr. Ari, peristiwa ini tetap menjadi alarm keras bahwa sistem pengawasan harus diperbaiki.
Lebih lanjut, ia meminta kepada Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Jenderal Polisi (HOR) (Purn.) Drs Agus Andrianto SH MH dan Dirjen Pemasyarakatan, Drs Mashudi, untuk menunjuk pejabat baru yang profesional dan siap melayani masyarakat sesuai ketentuan yang berlaku.
“Lapas adalah objek vital publik. Harapan, keadilan, dan penegakan hukum tergambar jelas melalui lapas. Siapa yang menjadi Kalapas dan KPLP nanti akan menentukan wajah keadilan hukum di Kalimantan Tengah,” tegasnya.
Dr Ari menegaskan bahwa pengawasan napi tidak bisa dilakukan secara longgar. Bahkan membiarkan napi pergi ke toilet tanpa pengawasan ketat, menurutnya, sudah termasuk kelalaian berat.
“Ini bukan hanya soal satu napi yang kabur. Ini soal tanggung jawab struktural yang gagal dipikul dengan profesionalitas,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, sistem ini harus dijalankan berdasarkan prinsip pengayoman, profesionalitas, dan pengamanan. Ketika salah satu fungsi itu runtuh, negara wajib bersikap tegas.
“Menonaktifkan pejabat struktural bukan bentuk vonis, tapi prasyarat untuk bersih-bersih. Kita tidak bisa membangun kepercayaan tanpa mengakui bahwa ada yang bocor, ada yang abai, dan ada yang perlu direset,” lanjutnya.
Sebagai tokoh muda Dayak, Dr Ari juga menekankan pentingnya harga diri daerah.
“Saya tidak ingin Kalimantan Tengah dikenal sebagai wilayah yang longgar terhadap pelanggaran atau permisif terhadap kegagalan sistemik. Lapas harus diperkuat, bukan hanya dengan tembok, tapi juga dengan integritas,” tegasnya.
Dr. Ari turut mendorong penerapan pengawasan digital real-time sebagaimana amanat Pasal 82 UU Pemasyarakatan, penegakan disiplin ASN, serta evaluasi menyeluruh terhadap struktur pengawasan harian. Ia juga mendorong agar proses investigasi internal dilakukan secara transparan kepada publik.
Menutup pernyataannya, ia mengajak semua pihak untuk tidak kehilangan harapan atas sistem pemasyarakatan.
“Kita boleh marah, tapi marah yang membangun. Kita kecewa, tapi dari kekecewaan itu kita bangun tekad: membangun lapas yang dapat dipercaya, membina yang dibina, dan menjaga martabat keadilan. Karena jika kita gagal menjaga yang sudah jatuh, maka kitalah yang akan ikut tumbang,” pungkasnya. (*)